7. Batas Usia Pensiun PNS
Hingga
saat ini ketentuan tentang batan usia pensiun (BUP) PNS masih mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1979, pasal 3 yang menyebutkan bahwa BUP PNS
adalah 56 tahun. Perhitungan BUP PNS saat ini belum pernah berubah, meskipun
untuk jabatan fungsional tertentu batasan pensiun bervariasi. Sejak tahun 1969
usia pensiun bagi PNS secara umum adalah 56 tahun, kecuali bagi jabatan
struktural yang diperpanjang dan jabatan fungsional tertentu. Angka harapan
hidup setelah pensiun telah meningkat jika dibandingkan keadaan Tahun 1969
secara rata-rata populasi.
Angka
harapan hidup setelah pensiun tidak berhubungan dengan angka harapan hidup
ketika lahir. Jika BUP tidak ditingkatkan, sedangkan angka harapan hidup
setelah pensiun telah meningkat, maka hal ini akan menimbulkan pembiayaan
pensiun yang tinggi, karena usia mengiur yang lebih sedikit dibandingkan usia
hidup pensiunan yang harus ditanggung oleh lembaga penyelenggara program
pensiun dan THT. Untuk itu kenaikan BUP harus mempertimbangan aspek demografi
seperti perbandingan jumlah pensiunan dengan populasi umum, perbandingan angka
harapan hidup populasi setelah pensiun, kemudian dihitung dengan permodelan
aktuaria.
Keputusan perpanjangan BUP tidak bisa didasarkan hanya pada keputusan politis
tanpa mempertimbangkan aspek demografi. Saat ini, sejumlah kebijakan mengatur
beragam BUP untuk jabatan fungsional tertentu mulai dari undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan presiden serta peraturan presiden. Beragamnya
sejumlah kebijakan yang terkait dengan Batas Usia Pensiun memunculkan
pertanyaan, apa dasar yang digunakan untuk menentukan BUP yang berbeda-beda
tersebut? Apakah aspek demografi dan mortalitas telah dipergunakan? Apabila
kebijakan yang diambil tanpa perhitungan yang tepat terhadap angka mortalitas
setelah pensiun dan hanya berdasarkan kebijakan politis semata, maka
keberlangsungan fiskal maupun isu kaderisasi akan menjadi masalah di kemudian
hari.
Jika
terjadi keterlambatan maka hal itu disebabkan oleh terlambatnya memasukan data
pribadi dalam berkas pengajuan pensiun yang menyangkut ahli waris yang sah.
Para calon pensiunan juga mengeluhkan banyaknya kelengkapan yang harus
dilegalisasikan serta dokumen, berkas yang harus dilampirkan. Kesulitan lainnya
adalah jika tempat membuat dokumen yang harus dilegalisir berbeda kota dengan
tempat calon pensiunan kini berdomisili,
Situasi berbeda dari keadaan di atas justru ditemui di PT. TASPEN, karena adanya data kepegawaian yang
tidak akurat baik di BKO maupun BKN, Oi BKN terdapat sekitar tiga ribu lima
ratus (3500) data tidak sempuma yang dikategorikan disclaimer, artinya data
tersebut tidak ditemukan di TASPEN.
Akibat dari keterlambat pengurusan SK pensiun itu, di Provinsi Kaltim memiliki
pengembalian hutang terbesar, sekitar enam ratus juta rupiah per bulan.
Selain
itu, perpindahan antar instansi pusat maupun antar daerah juga menyulitkan
validasi data di PT. TASPEN.
Permasalahan terkait pengurusan surat keputusan pensiun (SK) pensiun golongan
IV C ke atas, di beberapa daerah juga mengalami keterlambatan, Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi
dalam kajian ini kepada para pengambil keputusan maupun untuk kepentingan
kajian lebih lanjut adalah:
1.
Reformasi sistem pensiun PNS harus berasaskan keadilan bagi peserta pensiun,
mengandung keberlanjutan fiskal, dan tidak ada manupulasi dalam perhitungan
formula manfaat pensiun yang akan diterima peserta pensiun;
2.
Dalam mereformasi sistem pensiun PNS di Indonesia harus mempertimbangkan
keberlanjutan fiskal di masa depan;
3.
Sistem pensiun PNS sang at terkait dengan manajemen PNS secara keseluruhan.
Pembenahan sistem manajemen PNS yang senantiasa mengikutsertakan pembenahan
sistem pensiun akan menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan terkelola
dengan baik;
4.
Program pensiun dan program THT merupakan satu kesatuan dalam sistem pensiun
PNS dan tidak bisa dipisahkan. Untuk itu, ketika mereformasi sistem pensiun
PNS, maka harus mempertimbangkan kedua hal ini;
5.
Sistem penggajian dan remunerasi sangat terkait dengan sistem pensiun. Untuk
itu ketika pembenahan terhadap sistem pensiun dilakukan maka pembenahan
terhadap sistem gaji dan remunerasi pun mutlak dilakukan secara simultan;
6.
Pilihan terhadap reformasi sistem pensiun PNS pada dasarnya adalah pilihan
terhadap metode pembiayaan dan program pensiun yang direncanakan oleh pemberi
kerja bagi para pekerjanya. Sifat, manfaat, kepesertaan dan batas usia pensiun
merupakan isu minor dari dua isu mayor tersebhut. Isu-isu minor ini akan
mengikuti metode pembiayaan dan program pensiun yang dipilih;
9.
Perencanaan terhadap program jaminan sosial apapun temasuk sistem pensiun bagi
PNS harus didasarkan pada pertimbangan akademis dengan pengetahuan aktuaria,
sosial, ekonomi yang mumpuni dan tidak bisa diselesaikan dengan hanya
pendekatan politis yang bersifat populis tetapi tidak berkelanjutan fiskal;
10.
Isu demografi dan keberlanjutan fiscal harus dijadikan pertimbangan utama dalam
mereformasi sistem pensiun PNS;
11.
Harmonisasi kebijakan pensiun merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan
secara simultan sejalan dengan dilakukannya reformasi manajemen PNS dan
reformasi sistem pensiun PNS;
12.
Pekerjaan mereformasi sistem pensiun PNS merupakan pekerjaan kolektif yang
melibatkan pihak-pihak dengan kompetensi yang diperlukan dan tidak bisa hanya
dimonopoli satu pihak saja. Koordinasi antar pihakpihak yang terlibat
diperlukan agar terjadi perubahan yang signifikan dan komprehensif;
13.
Pemerintah harus segera mengambil langkah-Iangkah konkrit tentang batas waktu
pemberlakukan sistem pensiun PNS yang baru untuk menghindari tsunami pensiunan
dan pembiayaan pensiunan. Sistem cut off date harus segera dilakukan dan
diterap dengan komitmen yang tinggi;
14.
Pembuatan grand design dan road map reformasi sistem pensiun PNS yang realistis
harus segera disiapkan dan diwujudkan.
Baca artikel Sebelumnya mengenai
No comments:
Post a Comment